Ajip Rosidi, seorang tokoh sentral dalam dunia sastra dan kebudayaan Indonesia. Ditulis dalam gaya literer-reflektif, artikel ini cocok bagi para pencinta literasi, peneliti, dan siapa pun yang ingin memahami kontribusi besar Ajip Rosidi terhadap kebudayaan nasional. Mulai dari biografi, perjalanan intelektual, hingga kontribusinya terhadap bahasa dan kebudayaan Sunda serta nasional, artikel ini menyajikan pemahaman menyeluruh dan mendalam.
Ada nama-nama yang tak hanya hidup dalam teks dan buku, tetapi juga dalam kesadaran kolektif sebuah bangsa. Ajip Rosidi adalah salah satunya. Ia bukan hanya penulis, sastrawan, penerjemah, atau dosen; lebih dari itu, Ajip Rosidi adalah seorang pengabdi kata dan makna, seorang pemikir yang meletakkan budaya sebagai fondasi peradaban.
Dalam zaman yang makin cepat bergerak, kita kerap kehilangan jejak pada tokoh-tokoh yang bekerja diam-diam namun berdampak besar. Artikel ini mencoba menghidupkan kembali percakapan tentang Ajip Rosidi, menyusuri biografinya yang penuh tikungan, membongkar kontribusinya yang tersembunyi dalam lembar-lembar majalah, buku, hingga kebijakan bahasa dan kebudayaan.
Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Dalam sejarah intelektual Indonesia modern, nama ini berdiri dalam posisi yang tak tergantikan. Ia tidak menapaki jalur akademik formal hingga tuntas, tetapi mencipta lebih banyak pemikiran dan pengaruh daripada yang disediakan oleh ijazah.
Ayahnya seorang guru. Ibunya perempuan yang tegar dan menyemai kecintaan akan bahasa sejak kecil. Buku adalah teman yang paling setia dalam hidup Ajip. Ia mulai menulis sejak usia muda dan menerbitkan karya pertamanya saat usianya belum genap dua puluh tahun. Ajip Rosidi adalah bukti hidup bahwa bakat bisa bertemu dengan kerja keras untuk menghasilkan kekayaan intelektual yang tak ternilai.
Sebelum dikenal sebagai budayawan dan akademisi, Ajip lebih dulu dikenal sebagai penulis muda berbakat. Tahun 1950-an dan 1960-an adalah masa emasnya menulis puisi, cerpen, dan esai. Ia menerbitkan berbagai karya, di antaranya:
Puisi-puisi Ajip kerap berbicara tentang kematian, cinta yang murung, dan pertanyaan tentang identitas. Dalam kata-kata yang singkat dan padat, ia mengendapkan pemikiran yang dalam. Gaya penulisannya tak jarang dibandingkan dengan Chairil Anwar, meskipun Ajip punya dunia sendiri yang lebih bersandar pada perenungan.
Ajip Rosidi bukan hanya menulis, ia mencipta ekosistem. Ia mendirikan penerbit Pustaka Jaya yang menjadi rumah bagi ratusan buku penting di Indonesia. Ia juga mendirikan dan menjadi editor Horison, majalah sastra yang menjadi kiblat para penulis muda dan mapan selama beberapa dekade.
Ajip Rosidi adalah seorang kurator ide dan perasaan, menyatukan berbagai suara dalam ranah kebudayaan. Ia percaya bahwa budaya harus dikelola dengan kesadaran, bukan sekadar dibiarkan tumbuh liar.
Sumbangan dalam Bahasa dan Budaya Sunda
Tak bisa dibantah, Ajip adalah pelestari utama bahasa Sunda di abad ke-20 dan 21. Ia menulis, menerjemahkan, dan mengarsipkan karya-karya dalam bahasa Sunda. Ia juga mendirikan Paguyuban Panalungtik Basa Sunda dan aktif mempromosikan penggunaan bahasa daerah di tengah gempuran bahasa nasional dan global.
Dalam perjalanan intelektualnya, Ajip menyaksikan modernitas yang kadang tak berpijak pada akar tradisi. Ia melihat anak muda semakin jauh dari bahasa ibu, dari nilai-nilai lokal yang arif. Inilah tantangan besar yang ia hadapi dan ia jawab bukan dengan retorika, tetapi dengan kerja nyata—menulis, mengajar, mendirikan lembaga.
Ajip menyadari bahwa dalam dunia yang serba cepat, diperlukan upaya sadar untuk menjaga warisan budaya. Maka, ia pun menjadikan dirinya sebagai pengarsip, sebagai penggali, sebagai penyambung.
Untuk menghadapi kemunduran budaya lokal, Ajip menawarkan solusi kultural—bukan teknokratik. Ia mengusulkan agar bahasa daerah diajarkan bukan sebagai beban kurikulum, melainkan sebagai kekayaan yang membuat anak merasa memiliki.
Ia juga menciptakan berbagai yayasan dan lembaga dokumentasi agar karya-karya lokal tidak lenyap begitu saja. Melalui buku, kuliah, dan seminar, ia menghidupkan kembali percakapan tentang pentingnya literasi budaya.
Ajip bukan hanya orang yang bekerja dalam sunyi; ia juga berpikir dan menuliskannya. Pemikirannya menyentuh banyak aspek:
Ajip Rosidi juga pernah mengajar di Jepang. Di Universitas Kyoto Sangyo, ia mengajar tentang kebudayaan Indonesia kepada para mahasiswa asing. Pengalamannya di Jepang memperkaya sudut pandangnya, memperkuat kepercayaannya bahwa budaya adalah identitas paling kuat dalam pergaulan internasional.
Warisan dan Pengaruh yang Tak Terhapus
Ajip telah tiada pada 29 Juli 2020. Namun ia tidak pernah benar-benar pergi. Kata-katanya terus hidup dalam buku, dalam kepala para pembaca, dan dalam kebijakan budaya yang masih terasa jejaknya.
Dedi Ir
Mojokerto April 2025
https://edu.abjad.eu.org
Di tengah riuhnya zaman yang terus berganti wajah, sosok Ajip Rosidi hadir sebagai penanda: bahwa dalam setiap perubahan, yang perlu dijaga bukan sekadar bentuk, melainkan ruh dari kebudayaan itu sendiri. Ia adalah saksi yang menulis, pelaku yang mencatat, dan pemikir yang tak pernah lelah menggugat lupa. Lewat bait puisi, tajuk esai, hingga langkah-langkah nyata dalam dunia penerbitan dan pendidikan, Ajip memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya merawat ingatan, bahasa, dan jati diri bangsa.
Ia tidak hanya mengabdi pada aksara, tetapi juga pada makna. Ia mengingatkan bahwa menjadi modern tidak berarti meninggalkan akar, dan menjadi Indonesia bukan berarti meninggalkan lokalitas. Warisannya bukan hanya tumpukan buku, tetapi juga keberanian untuk berpikir jernih dan berdiri teguh di antara gelombang zaman.
Kita mungkin tak akan bisa mengulang jejaknya, tapi kita bisa melanjutkan semangatnya: menulis, mengarsipkan, dan menjaga yang rapuh agar tidak lenyap. Sebab di balik segala yang kasat, ia telah mengajari kita bahwa mencintai bangsa ini adalah pekerjaan seumur hidup. Dan ajaran itu terpatri kuat dalam satu nama Ajip Rosidi.