Di tengah gelombang globalisasi dan batas-batas negara yang semakin kabur secara kultural, sastra menawarkan satu jalan sunyi namun kuat: diplomasi berbasis rasa. Sebuah antologi puisi esai hasil kolaborasi penyair Indonesia dan Malaysia telah dirilis, bukan sekadar sebagai karya sastra, melainkan sebagai medium pertukaran budaya dan nilai kemanusiaan. Artikel ini membahas peluncuran buku tersebut, signifikansinya dalam konteks ASEAN, serta prospeknya dalam diplomasi budaya lintas-negara.
Kata-Kata yang Menyeberangi Laut
Di antara bahasa yang berbeda, agama yang tak sama, dan sejarah yang tak selalu lurus, masih ada satu hal yang mampu menjembatani: puisi. Di negeri-negeri serumpun, kata menjadi titian, bukan tembok. Puisi esai, genre baru yang menggabungkan renungan estetis dan jejak realitas, kini menjadi medium pilihan dalam membangun kembali koneksi kultural antara Indonesia dan Malaysia.
Pada pertengahan April, sebuah acara peluncuran buku diadakan di Kota Kinabalu, Malaysia. Bukan pertemuan politik. Bukan pula forum ekonomi. Melainkan perayaan kata-kata sebuah upacara sastra lintas negara.
Sebanyak 44 penulis dari dua negara duduk dalam satu ruang sunyi, bersuara lewat puisi esai. Mereka tak sedang membicarakan angka, tetapi tentang ingatan, tanah air, penderitaan, dan cinta yang tak mengenal bendera.
Puisi-puisi dalam antologi ini tak semata indah, tetapi juga kritis dan dokumentatif. Ia mencatat sejarah lokal, mengangkat isu sosial, dan merayakan keberagaman yang justru mempersatukan. Dengan cara itu, puisi menjadi lebih dari sekadar estetika; ia menjadi kesaksian.
Alih-alih melalui pidato atau perjanjian, diplomasi di sini berjalan lewat bait dan larik. Buku ini menjadi contoh nyata bahwa kerja sama dua bangsa bisa diwujudkan melalui ekspresi sastra.
Penyair, dalam hal ini, menjadi diplomat sunyi. Mereka mengirim pesan damai tanpa perlu mikrofon, menyentuh hati tanpa perlu seremoni formal.
Buku ini memuat beragam tema:
Tak ada dominasi satu narasi. Justru, kekuatan buku ini ada pada pluralitas suara.
Elemen | Informasi |
---|---|
Jumlah Penulis | 44 |
Negara Asal | Indonesia & Malaysia |
Lokasi Peluncuran | Kota Kinabalu, Malaysia |
Tema Buku | Puisi Esai Lintas Budaya & Sejarah Serumpun |
Genre | Puisi Esai |
Sasaran Distribusi | Sekolah, Kampus, Komunitas Sastra ASEAN |
Sastra khususnya puisi esai telah membuktikan dirinya bukan sekadar cermin perasaan, melainkan peta kebudayaan. Ketika dua bangsa bersuara dalam satu buku, maka yang hadir bukan hanya karya, tetapi ikatan yang lebih dalam dari sekadar kerjasama.
Puisi mungkin tak menghentikan perang, tapi ia mampu menyembuhkan luka. Dan dalam dunia yang semakin bising, suara sastra menjadi oase.
Dedi Ir
Mojokerto Jawa Timur
Baca juga artikel tentang edukasi
Sebagai penutup, antologi Kemilau Satu Langit bukan hanya sekadar kumpulan puisi esai, melainkan pijakan awal bagi penguatan tali persaudaraan lintas budaya di kawasan ASEAN, semoga setiap bait dalam buku ini mampu menggugah kesadaran kolektif tentang indahnya keragaman serumpun yang menyatu dalam harmoni kata-kata RI-Malaysia Releases Essay Poetry Book (RI-Malaysia Rilis Buku Puisi Esai)